Tabloid Nasional. Belum genap dua bulan kampanye Pilpres berlangsung, sudah tampak indikasi menghangatnya suhu politik, utamanya di kalangan para elit politik nasional.
Sementara upaya menurunkan suhu politik belum muncul dari kedua kubu Paslon Pilpres.
Saat ini kedua kubu seolah berada di seberang yang berbeda.
Hal tersebut yang dirasakan pengamat komunikasi politik, Emrus Sihombing.
Menurut Emrus, indikasi meningkatnya suhu politik jelas terlihat dari lontaran pesan komunikasi politik dari kedua kubu, baik paslon nomor urut 01 Jokowi-Ma'ruf Amin, maupun paslon nomor urut 02 Prabowo-Sandiaga.
"Salah satu kubu, misalnya, menyampaikan rakyat Indonesia 99 persen hidup pas-pasan, harga-harga bahan pokok di pasar naik, tempe setipis ATM, chicken rice di Singapura lebih murah dibanding di Jakarta, dan janji pemerintah tidak ditepati disebut sebagai kebohongan,".
Sementara kubu lawan tidak tinggal diam, mereka ikut “menembakkan peluru” komunikasi politik ke ruang publik sebagai respon dari kubu kawan.
"Bersaing dalam kontestasi Pilpres dengan mengatakan Politik Sontoloyo dan Politik Genderuwo," ucap Emrus.
Untuk itu Emrus menilai berbalas “pantun” politik yang sedang terjadi saat ini, tidak boleh dibiarkan.
Sebab, menurut Emrus kampanye semacam itu bila terus dipelihara oleh para elit politik peserta kampanye Pilpres sangat berpotensi menimbulkan polarisasi dan gesekan sosial.
"Dan bahkan bisa memicu konflik horizontal di tengah masyarakat," kata Emrus.
Sementara upaya menurunkan suhu politik belum muncul dari kedua kubu Paslon Pilpres.
Saat ini kedua kubu seolah berada di seberang yang berbeda.
Hal tersebut yang dirasakan pengamat komunikasi politik, Emrus Sihombing.
Menurut Emrus, indikasi meningkatnya suhu politik jelas terlihat dari lontaran pesan komunikasi politik dari kedua kubu, baik paslon nomor urut 01 Jokowi-Ma'ruf Amin, maupun paslon nomor urut 02 Prabowo-Sandiaga.
"Salah satu kubu, misalnya, menyampaikan rakyat Indonesia 99 persen hidup pas-pasan, harga-harga bahan pokok di pasar naik, tempe setipis ATM, chicken rice di Singapura lebih murah dibanding di Jakarta, dan janji pemerintah tidak ditepati disebut sebagai kebohongan,".
Sementara kubu lawan tidak tinggal diam, mereka ikut “menembakkan peluru” komunikasi politik ke ruang publik sebagai respon dari kubu kawan.
"Bersaing dalam kontestasi Pilpres dengan mengatakan Politik Sontoloyo dan Politik Genderuwo," ucap Emrus.
Untuk itu Emrus menilai berbalas “pantun” politik yang sedang terjadi saat ini, tidak boleh dibiarkan.
Sebab, menurut Emrus kampanye semacam itu bila terus dipelihara oleh para elit politik peserta kampanye Pilpres sangat berpotensi menimbulkan polarisasi dan gesekan sosial.
"Dan bahkan bisa memicu konflik horizontal di tengah masyarakat," kata Emrus.
Checking your browser before accessingPlease enable Cookies and reload the page. This process is automatic. Your browser will redirect to your requested content shortly. Please allow up to 5 seconds… |